Powered By Blogger

Cari Blog Ini

rama

Jumat, 28 Agustus 2009

TIPS BELAJAR BAHASA INGGRIS

Belajar Bahasa Inggris Tips
Bukan Grammar Atau Tenses Tetapi Ngobrol Cara Belajar Bahasa Inggris
Cara Nonton Video Berbahasa Inggris
August 29, 2009
Anda mungkin sering mencoba belajar bahasa inggris lewat video, maksud saya nonton video yang berbahasa inggris kan? Saya juga suka :D Termasuk juga nonton film di TV yang berbahasa Inggris. Agak sulit sih memang di awalnya, tapi kalau rajin dilakukan maka lama kelamaan memang jadi enak. Ingat belajar jurus rajin kan?. Memang enak video yang dibeli sendiri sih dibandingkan yang di TV karena kalo video bahasa Inggris pribadi kan bisa diulang sesuka hati muternya. ...
Baca Selengkapnya » Cara Nonton Video Berbahasa Inggris
Tags: belajar bahasa inggris lewat video, video bahasa inggris No Comments » 186 views
Belajar Bahasa Inggris Jurus Rajin
August 7th, 2009
Walaupun cara belajar yang satu ini sangat sederhana namun terbukti sangat manjur yaitu Belajar Bahasa Inggris Jurus Rajin. Saking sederhananya jurus ini maka terlalu banyak orang yang menganggapnya enteng. Sebenarnya jurus ini berlaku umum, bukan hanya untuk urusan belajar bahasa inggris, dan ilmu ini merupakan peninggalan nenek moyang juga Rajin Pangkal Pandai. Nah kalau kita melanggar nasehat nenek maka wajar juga kalau banyak orang kualat, dalam hubungannya dengan bahasa inggris maka...
Baca Selengkapnya » Belajar Bahasa Inggris Jurus Rajin
Tags: belajar bahasa inggris, jurus rajin No Comments » 235 views
Dimana Bisa Belajar Tenses?
August 7th, 2009
Ndak perlu bingung mencari tempat belajar tenses bahasa inggris di internet, sebab ada buanyak buanget. Anda tinggal cari saja di Google.com lalu ketikkan kata Belajar Tenses, pasti ketemu banyak :D Kalau sudah ketemu yang cocok, jangan lupa simpan ya alamat websitenya, agar nanti kalau mau ke sana lagi tidak lupa. Tapi menurut saya memang lebih enak belajar tenses dari buku sih. Buku Bahasa Inggris Grammar misalnya karangan Idi Supomo yang berjudul BBC English Grammar menurut saya sangat...
Baca Selengkapnya » Dimana Bisa Belajar Tenses?
Tags: belajar tenses No Comments » 270 views
Stop Dreaming Start Action Belajar Bahasa Inggris
August 7th, 2009
Pasti banyak sekali praktisi bisnis online dan internet marketing Indonesia yang pengen bisa banget bahasa inggris ya? Saya yakin itu. Karena bahasa inggris memang sangat beguna untuk mendukung kegiatan pemasaran lewat internet ini, termasuk juga dengan bisa bahasa inggris maka seseorang pebisnis internet bisa belajar lebih cepat dari sumber aslinya. Namun saya kok yakin juga ya bahwa banyak juga mereka yang ingin bisa bahasa inggris tersebut tetapi tidak belajar keras untuk benar-benar...
Baca Selengkapnya » Stop Dreaming Start Action Belajar Bahasa Inggris
Tags: belajar bahasa inggris, bisnis online, internet marketing, stop dreaming start action No Comments » 69 views
Bisa Bahasa Inggris Tergantung Niat
April 27th, 2009
Untuk bisa Bahasa Inggris itu memang tergantung niat, jika niat kita sangat kuat maka bahasa inggris tersebut sudah tergantung, tinggal jatuh saja. Seperti duren yang masih tergantung dipohon atau baju yang tergantung di cantelannya, belum bisa dipakai, tetapi jelas sudah terlihat dan hampir dapat, hehe. Suatu niat yang sangat kuat atau katakanlah keinginan yang sangat kuat tentu akan mendorong kita untuk ACTION atau bertindak. Tindakan itulah yang kemudian akan membuat kita benar-benar bisa...
Baca Selengkapnya » Bisa Bahasa Inggris Tergantung Niat
Tags: bahasa, bisa, inggris, niat, tergantung 7 Comments » 1,028 views


Pages
o Tentang Belajar Bahasa Inggris
• Archives
o August 2009
o April 2009






• Recent Posts
o Cara Nonton Video Berbahasa Inggris
o Belajar Bahasa Inggris Jurus Rajin
o Dimana Bisa Belajar Tenses?
o Stop Dreaming Start Action Belajar Bahasa Inggris
o Bisa Bahasa Inggris Tergantung Niat
• Recent Comments
o Jimmy Wong on Bisa Bahasa Inggris Tergantung Niat
o Jimmy Wong on Tentang Belajar Bahasa Inggris
o aldo on Tentang Belajar Bahasa Inggris
o sya on Tentang Belajar Bahasa Inggris
o Mufli on Bisa Bahasa Inggris Tergantung Niat
• Meta
o Log in
o Entries RSS
o Comments RSS
o WordPress.org
• Blogroll
o Internet Marketing Indonesia
Popular Tags
belajar tenses internet marketing jurus rajin video bahasa inggris belajar bahasa inggris lewat video bisnis online stop dreaming start action bahasa bisa inggris tergantung niat belajar bahasa inggris
BelajarBahasaInggris.Net
Iklan Gratis Bisnis Internet Bukan Tempat Pasang Iklan Gratis Tetapi Artikel Tentang Iklan Gratis
________________________________________
Belajar Bahasa Inggris Tips is proudly powered by WordPress Entries (RSS)

PEMBANGUNAN

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep tentang Modal Sosial
Modal Sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumberdaya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Dimensi Modal Sosial cukup luas dan kompleks. Modal Sosial berbeda dengan istilah populer lainnya, yaitu Modal Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada Modal Sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok dan antarkelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antarsesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial. Robert D Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat Modal Sosial yang rendah.
Salah satu tokoh utama yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Modal Sosial yaitu James Coleman (1990). Atas hasil studinya tentang pemuda dan pendidikan (youth and schooling) mendefinisikan konsep Modal Sosial sebagai varian entitas, terdiri dari beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya, apakah dal;am bentuk personal atau korporasi dalam suatu struktur sosial. Modal sosial menurutnya inheren dalam struktur relasi antarindividu. Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma dan sangsi sosial bagi para anggotanya. Coleman dan Bourdieu memiliki kesamaan dalam fokus kajian yaitu individual, terutama yang berkaitan dengan peran dan hubungan dengan sesama sebagai unit analisis Modal Sosial. Formulasi lain tentang konsep Modal Sosial dikemukakan juga oleh Adler dan Kwon (2000) yang menyatakan bahwa Modal Sosial merupakan gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dan dinamika Modal Sosial yang terdapat dalam struktur dimaksud.
Francis Fukuyama (2003) menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan pembangunan di segala bidang kehidupan, dan terutama bagi kestabilan pembangunan ekonomi dan demokrasi. Pada masyarakat yang secara tradisional telah terbiasa dengan bergotong royong serta bekerjasama dalam kelompok atau organisasi yang besar cenderung akan meraskan kemajuan dan akan mampu, secara efisien dan efektif, memberikan kontribusi penting bagi kemajuan negara dan masyarakat.
Masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep Modal Sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya. Perbedaan tersebut juga dalam hal pendekatan analisis. dari berbagai konsep yang telah disebutkan di atas, intinya konsep Modal Sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Dalam proses perubahan dan upaya untuk mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta berhubungan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh Modal Sosial antara lain sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai, dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peran penting adalah kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara terus menerus pro aktif, baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasa, maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru.

2.2 Pengembangan Modal Sosial Untuk Pembangunan
Modal Sosial, tidak diragukan, merupakan energi pembangunan. Pembangunan yang mengabaikan dimensi ini sebagai pendorong munculnya kekuatan masyarakat dan bangsa, tidak saja akan kehilangan fondasi kemasyarakatan yang kuat, tetapi juga akan mengalami stagnasi dan kesulitan untuk keluar dari berbagai krisis yang dialami. Sebagai energi, Modal Sosial akan efektif memberikan dorongan keberhasilan bagi berbagai kebijakan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta. Keyakinan ini didasarkan pada kekuatan yang dimilikinya guna merangsang masyarakat membangun secara swadaya, yang hasilnya akan memaksimalkan pencapaian dari setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah.
Secara historis, negara tidak memiliki tradisi penciptaan Modal Sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Fukuyama (1999), Modal Sosial tersebut bersumber atau by product dari agama, tradisi dan pengalaman-pengalaman bersama yang selalu berulang di tengah masyarakat, dan ini di luar kemampuan dan kontrol pemerintah. Ketika kebijakan-kebijakan dirancang, semestinya pemerintah menyadari bahwa Modal Sosial yang tumbuh di masyarakatnya merupakan produk dari masyarakat itu sendiri. Pemerintah tetap dapat berperan sebagai pendorong untuk tumbuh dan munculnya energi Modal Sosial itu kembali, tetapi bukan pencipta.
Agama, menurut Francis Fukuyama, merupakan salah satu sumber utama Modal Sosial. Prkumpulan-perkumpulan keagamaan sangat potensial untuk menghadirkan dan membangun suatu bentuk dan ciri tertentu dari Modal Sosial. Ajaran agama merupakan salah satu sumber dari nilai dan norma yang menuntun perilaku masyarakat. Agama lah yang menjadi sumber utama inspirasi, energi sosial, serta yang memberikan ruang bagi terciptanya orientasi hidup penganutnya.
Tradisi yang telah berkembang secara turun temurun juga sebagai sumber terciptanya norma-norma dan nilai, hubungan-hubungan relasional antarmasyarakat serta kelompok-kelompok sosial. Tatanan yang terbangun merupakan produk kebiasaan yang turun temurun, dan kemudian membentuk kualitas Modal Sosial. Kelompok-kelompok masyarakat yang terbangun oleh suatu organisasi sosial yang khas dan berbasis kepada garis keturunan merupakan salah satu dari sekian sumber yang melahirkan Modal Sosial.
Di samping itu, Modal Sosial yang terbentuk dari produk-produk yang disebutkan di negara dengan kehidupan masyarakat yang masih tradisional perlu dicermati. Kaitannya dengan kehidupan kelompok, biasanya memiliki radius Modal Sosial yang pendek yang dapat menghasilkan pandangan-pandangan negatif terhadap kelompok di luarnya (negative externalities). Melalui lembaga-lembaga pendidikan, Modal Sosial juga dapat tumbuh. Lembaga pendidikan tidak hanya memberikan pelajaran-pelajaran keilmuan semata, tetapi idealnya sebagai tempat membangun Modal Sosial dalam bentuk aturan-aturan dan norma serta nilai. Kemungkinan ini tidak hanya melalui lembaga-lembaga pendidikan di tingkat dasar dan menengah, tetapi juga melalui lembaga pendidikan tinggi. Produk lembaga pendidikan tinggi sebaiknya tidak hany beruruan dengan keilmuan semata, tetapi juga menciptakan nilai-nilai baru yang berorientasi pada dimensi kebebasan berpendapat, kesamaan kedudukan, dan etika yang tinggi.









BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pemahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Modal Sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumberdaya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal.
Modal Sosial akan efektif memberikan dorongan keberhasilan bagi berbagai kebijakan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta. Keyakinan ini didasarkan pada kekuatan yang dimilikinya guna merangsang masyarakat membangun secara swadaya, yang hasilnya akan memaksimalkan pencapaian dari setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah.
Meninjau Ulang Kriminalitas Remaja
Salah satu problem pokok yang dihadapi oleh kota besar, dan kota-kota lainnya tanpa menutup kemungkinan terjadi di pedesaan, adalah kriminalitas di kalangan remaja. Dalam berbagai acara liputan kriminal di televisi misalnya, hampir setiap hari selalu ada berita mengenai tindak kriminalitas di kalangan remaja. Hal ini cukup meresahkan, dan fenomena ini terus berkembang di masyarakat.
Dalam satu liputan di harian Republika (2007) misalnya, dikatakan bahwa di wilayah Jakarta tidak ada hari tanpa tindak kekerasan dan kriminal yang dilakukan oleh remaja. Tentu saja tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat bervariasi, mulai dari tawuran antarsekolah, perkelahian dalam sekolah, pencurian, hingga pemerkosaan. Tindak kriminalitas yang terjadi di kalangan remaja dianggap kian meresahkan publik. Harian Kompas (2007) bahkan secara tegas menyatakan bahwa tindak kriminalitas di kalangan remaja sudah tidak lagi terkendali, dan dalam beberapa aspek sudah terorganisir. Hal ini bahkan diperparah dengan tidak mampunya institusi sekolah dan kepolisian untuk mengurangi angka kriminalitas di kalangan remaja tersebut.
Dalam liputan khusus yang pernah dikeluarkan oleh Kompas (2002), dikatakan bahwa angka kriminalitas di Jakarta pada 2002 meningkat sebesar 9,86% jika dibandingkan dengan tahun 2001. Dalam persentase kenaikan tersebut memang tidak secara khusus dinyatakan berapa besaran angka kriminalitas di kalangan remaja. Harian Republika (2005) lebih berani mengatakan bahwa hampir 40% tindak kriminalitas di Jakarta dilakukan oleh remaja. Dalam liputannya, Kompas (2002) menyebutkan bahwa sampai dengan 30 Desember 2002 tercatat 34.270 kasus kriminal. Polresto Jakarta Pusat merupakan tempat pertama dengan angka kriminalitas tertinggi dengan 7.011 kasus, disusul oleh Jakarta Selatan denan 6.036 kasus, Jakarta Timur denan 4.274 kasus, Jakarta Barat dengan 2.997 kasus, Jakarta Utara dengan 2.827 kasus, Depok dengan 2.694 kasus, Bekasi dengan 2.487 kasus, dan Tanggerang dengan 2.474 kasus. Tentu saja daftar ini dapat lebih panjang lagi jika mempertimbangkan daerah lainnya.
Crime Index atau daftar sebelas kejahatan yang meresahkan masyarakat juga bertambah, dari 18.677 kasus pada tahun 2001 menjadi 19.011 kasus pada tahun 2002. Adapun yang termasuk dalam Crime Index adalah pencurian dengan kekerasan (curas), pencurian dengan penganiayaan berat (curat), penganiayaan berat (anirat), pembunuhan, pencurian kendaraan bermotor (curanmor), kebakaran, perjudian, pemerkosaan, narkotika, dan kenakalan remaja.
Kenakalan remaja yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, dan dunia pada umumnya, dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk perilaku menyimpang di masyarakat. Tentu saja fenomena ini dapat dijelaskan dalam tataran ilmu sosial, hanya saja untuk mencari suatu teori yang relevan yang dapat menjelaskan dengan baik mengenai kenakalan remaja dibutuhkan kejelian tersendiri. Kenakalan remaja dapat diidentifikasikan sebaai bentuk penyimpangan yang terjadi di masyarakat, dan dengan identifikasi ini maka kenakalan remaja dapat dijelaskan dalam tataran ilmu-ilmu sosial.


Teori-Teori Terkait
Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kenakalan remaja dari perspektif teoritis secara ketat, oleh karena itu saya lebih cenderung untuk melihat kenakalan remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang (deviant behavior) di masyarakat. Jika melihat dari sisi penyimpangan (deviant), maka setidaknya terdapat tiga teori utama yang dapat menjelaskan fenomena ini yaitu: struktural fungsional terutama anomie dari Durkheim dan Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi diferensiasi dari Sutherland, dan power-conflict terutama dari Young dan Foucault.

(a) Struktural Fungsional
Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan normal dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam masyarakat. Penyimpangan dalam hal ini tidak lah terjadi secara alamiah namun terjadi ketika pemaksaan atas seperangkat aturan main tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok orang, dengan demikian penyimpangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu teori utama yang dapat menjelaskan mengenai penyimpangan ini adalah teori anomie dari Durkheim dan dari Merton.
Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara integrasi sosial dan penaturan sosial dengan angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dari ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial dan aturan sosial (social regulation) yang masing-masing independen, atau dalam istilah lain, besaran integrasi tidak menentukan besaran pengaturan, demikian pula sebaliknya, namun keduanya mempengaruhi ikatan sosial. Integrasi sosial dapat diterjemahkan sebagai keikutsertaan seseorang dalam kelompok dan institusi di mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi masuk dalam kategori ‘altruism’, dan yang sangat tidak terinterasi dalam kategori ‘egoism’. Demikian pula mereka yang sangat taat aturan masuk dalam kategori ‘fatalism’ dan mereka yang sangat tidak taat masuk dalam kategori ‘anomie’ (wikipedia t.t.b).
Teori anomie dari Durkheim dikembangkan oleh Merton sebagai bentuk alienasi diri dari masyarakat di mana diri tersebut membenturkan diri dengan norma-norma dan kepentingan yang ada di masyarakat. Dalam menjelaskan hal ini, Merton memfokuskan pada dua variabel, yakni tujuan (goals) dan ‘legitimate means’ (saya secara sengaja tidak menterjemahkan kata ini karena tidak menemukan pengertian yang tepat) ketimbang integrasi sosial dan pengaturan sosial. Dua dimensi ini menentukan derajat adaptasi masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan kultural (apa yang diinginkan oleh masyarakat mengenai kehidupan ideal) dan cara-cara yang dapat diterima di mana seorang individual dapat menuju tujuan-tujuan kultural. Merton sendiri membagi derajat adaptasi dengan lima kombinasi, yakni ‘conformity’, ‘innovation’, ‘ritualism’, ‘retreatism’, dan ‘rebellion’.

(b) Interaksi Simbolik
Dalam pandangan interaksi simbolik, penyimpanan datang dari individu yang mempelajari perilaku meyimpang dari orang lain. Dalam hal ini, individu tersebut dapat mempelajari langsung dari penyimpang lainnya atau membenarkan perilakunya berdasarkan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain. Sutherland mengemukakan mengenai teori ‘differential association’, di mana Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari tindakan tersebut dan perilaku menyimpang dari pihak lain, bukan berasal dari dirinya sendiri. Dalam istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami. Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan berbagai tindakan atau perilaku lain yang dipelajari seseorang dari orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dari teorinya, seperti ide bahwa belajar datang dari adanya interaksi antara individu dan kelompok dengan menggunakan komunikasi simbol-simbol dan gagasan. Ketika simbol dan gagasan mengenai penyimpangan lebih disukai, maka individu tersebut cenderung untuk melakukan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal, sebagaimana perilaku lainnya, dipelajari oleh individu, dan tindakan ini dilakukan karena dianggap lebih menyenangkan ketimbang perilaku lainnya (lihat wikipedia t.t.a)

(c) Power-Conflict
Satu hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas pandangan Marx, namun Marx sendiri tidak pernah menulis tentang perilaku menyimpang. Teori ini melihat adanya manifestasi power dalam suatu institusi yang menyebabkan terjadinya penyimpangan, di mana institusi tersebut memiliki kemampuan untuk mengubah norma, status, kesejahteraan dan lain sebagainya yang kemudian berkonflik dengan individu. Meskipun Marx secara pribadi tidak menulis mengenai perilaku menyimpang, namun Marx menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) secara khusus menyatakan bahwa dunia modern dapat dikatakan sangat toleran terhadap perbedaan namun sangat takut terhadap konflik sosial, meskipun demikian, dunia modern tidak menginginkan adanya penyimpang di antara mereka.

Kriminalitas Remaja: teori yang relevan
Melihat tiga teori yang ada, maka penulis cenderung untuk memilih teori struktural-fungsional, terutama yang berasal dari Merton sebagai teori yang dapat menjelaskan mengenai kenakalan remaja. Secara khusus Merton memang membahas mengenai deviant yang merupakan bentuk lanjut dari adanya disintegrasi seorang individu dalam masayarakat. Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma kultural dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural (lihat Ritzer dan Goodman 2007).
Secara umum Merton menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yang terorganisir yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yang digunakan oleh semua anggota masyarakat untuk berperilaku. Struktur didefinisikan sebagai seperangkat hubungan sosial yang terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan sebagai sebuah keterputusan hubungan antara struktur dan kultur yang terjadi jika ada suatu keretakan atau terputusnya hubungan antara norma kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota dalam kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216).
Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat sebagai ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma, tujuan dan cara-cara yang diperbolehkan dalam masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan oleh individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat tidak lah sama baik secara kualitas maupun kuantitas (Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang diinginkan (intended motif), namun juga motif-motif yang tidak diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes dan laten dalam integrasi berarti bahwa integrasi menyebabkan adanya pihak yang mengalami disintegrasi, atau dalam bahasa yang lebih kasar, integrasi justru memiliki pengaruh besar atas terjadinya disintegrasi.
Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi yang lebih besar: anomie yang terjadi di masyarakat, yang berujung dengan terjadinya penyimpangan, adalah ‘efek samping’ atau motif yang tidak diinginkan (unintended motif) dari integrasi dalam masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan disfungsi. Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yang terlihat dan berguna bagi adaptasi atau pengaturan dari sistem yang telah ada, sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yang terlihat yang mengurangi adaptasi atau pengaturan dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi dan disfungsi, Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi obkektif yang berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest adalah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton, 1968:105)
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, Merton membagi keadaan ini dalam lima kategori, yaitu:
1. ‘Conformity’ atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat baik yang tujuan dan cara-caranya ‘benar dalam masyarakat’
2. ‘Innovation’ atau individu yang tujuannya benar, namun cara-cara yang dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat.
3. ‘Ritualism’ atau individu yang salah secara tujuan namun cara-cara yang dipergunakannya dapat dibenarkan.
4. ‘Retreatism’ atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan cara-cara yang dipergunakan.
5. ‘Rebellion’ atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan cara-cara yang diterima dengan menciptakan sistem baru yang menerima tujuan-tujuan dan cara-cara baru.
Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang sangat baik dalam melihat perilaku menyimpang dalam masyarakat berupa tindak kriminal. Karena dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memberikan setiap warganya ‘the American Dream’, di mana Amerika memberikan kebebasan setiap warganya untuk memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan cita-citanya. Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang sesungguhnya dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam memberikan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah sebagian besar dari mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari mereka akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang diinginkan, yakni dengan melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut (lihat Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa tindakan yang mungkin diambil oleh mereka, terutama dengan menjadi subkultur penyimpang, seperti pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat.
Tentu saja kasus yang dicontohkan oleh Merton pun dapat dipergunakan dalam melihat kasus kenakalan remaja di Indonesia. Kenakalan remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang dapat dilihat sebagai keterputusan antara remaja sebagai individu dengan norma dan cara-cara yang diinginkan dalam masyarakat. Keterputusan ini menyebabkan sebagian remaja untuk bertindak dengan melakukan berbagai tindak kriminal. Terlepas apakah ‘the American Dream’ sama dengan ‘the Indonesian Dream’, namun tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja merupakan cara yang digunakan oleh remaja untuk mencapai cita-cita yang mereka inginkan yang boleh jadi tidak dapat mereka capai. Jika melihat derajat adaptasi yang dilakukan oleh remaja, boleh jadi mereka berada pada tahap ‘retreatism’ atau ‘rebellion’ yakni dengan menciptakan seperangkan tujuan dan aturan main yang benar-benar baru ketimbang yang berkembang secara umum di masyarakat.
Meskipun demikian, tentu saja terdapat satu aspek lain yang harus diperhatikan ketika melihat kenakalan remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang, yakni perbuatan tersebut tetap ada dan berlangsung hingga saat ini karena perbuatan ternyata fungsional, setidaknya bagi sebagian pihak. Tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja boleh jadi merupakan fungsi manifes dari adanya integrasi dalam masyarakat. Secara umum, perilaku menyimpang memiliki fungsi tersendiri dalam masyarakat, di antaranya: (1) menegaskan nilai-nilai kultural dan norma-norma yang ada di masyarakat, (2) menciptakan kesatuan sosial dengan menciptakan dikotomi ‘kami’ dan ‘mereka’, (3) mengklarifikasi batasan-batasan moral, (4) perilaku menyimpang boleh jadi merupakan pernyataan sikap individu yang menentang terhadap tujuan dan norma dalam kelompok.
Kenakalan remaja berupa penyimpangan sosial merupakan gambaran betapa struktur sosial menguasai aktor, di mana struktur sosial yang ada justru mendorong para remaja untuk bertindak dengan melakukan tindakan kriminal. Dalam hal ini, ‘mind’ menjadi bagian intergral dalam masyarakat, di mana ‘mind’ menjadikan seperangkan nilai, norma dan tujuan yang ada di masyarakat sebagai aturan main bagi semua anggota masyarakat. Dengan menjadikan struktur sebagai bagian utama, dan mind sebagai bagian integral, maka setiap anggota masyarakat diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan hal itu, dan mereka yang ‘gagal’ untuk beradaptasi adalah mereka yang kemudian dikatakan sebagai penyimpang, termasuk di dalamnya adalah para remaja yang melakukan tindakan kriminal.

Juvenile Deliquency: Hubungan Sebab-Akibat
Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja berupa tindakan kriminal boleh jadi membuat kita berpikir ulang mengenai integrasi dalam masyarakat. Alih-alih menjadi tertuduh utama, sebagaimana yang dituduhkan dalam media massa, kenakalan remaja berupa tindak kriminal justru memberikan pengaruh yang besar dalam masyarakat, meskipun pengaruh mereka tidak lah diinginkan (unintended). Adanya kriminalitas di kalangan remaja pun mendorong kita bertanya penyebab terjadinya tindakan tersebut.
Kenakalan remaja boleh jadi berkaitan erat dengan hormon pertumbuhan yang fluktuatif sehingga menyebabkan perilaku remaja sulit diprediksi, namun ini bukan lah jawaban yang dapat menjadi justifikasi atas perilaku remaja. Rasanya angapan bahwa hormon berpengaruh sangat besar agak dilebih-lebihkan, nampaknya ada faktor lain yang menyebabkan mengapa angka kriminalitas di kalangan remaja menjadi sangat tinggi dan perbuatan kriminalitas tersebut dianggap sangat meresahkan masyarakat secara luas.
Salah satu tuduhan mengenai tingginya angka kriminalitas remaja – atau lebih tepatnya kenakalan remaja – adalah tidak berfungsinya kelurga dan/atau ketidakberfungsian sosial masyarakat (lihat Masngudin t.t.). Keluarga di anggap gagal dalam mendidik remaja sehingga menyebabkan mereka melakukan tindakan penyimpangan yang berujung dengan diberikannya sanksi sosial oleh masyarakat. Alih-alih tertib, sanksi yang diberikan justru menjadikan remaja menjadi lebih sulit diatur. Dan hal ini pula yang menyebabkan masyarakat di anggap gagal dalam melakukan tindakan pencegahan atas terjadinya perilaku menyimpang tersebut. Keluarga memegang peranan yang penting, dan hal ini diakui oleh banyak pihak (lihat tanyadokteranda.com t.t.). Keluarga merupakan elemen penting dalam melakukan sosialisasi nilai, norma, dan tujuan-tujuan yang disepakati dalam masyarakat, dan tingginya angka kriminalitas remaja sebagai konsekuensi dari tidak berjalannya aturan dan norma yang berlaku di masyarakat dianggap sebagai kesalahan keluarga. Jika melihat dari sisi teoritis, tentu saja bukan hanya keluarga yang dipersalahkan, masyarakat pun dapat dipersalahkan dengan tidak ditegakkan aturan secara ketat atau membantu sosialisasi norma dan tujuan dalam masyarakat.
Salah satu faktor lainnya yang juga harus diperhatikan adalah peer group remaja tersebut. Teman sepermainan memegang peran penting dalam meningkatnya angka kriminalitas di kalangan remaja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sutherland, bahwa tindakan kriminal bukan lah sesuatu yang alamiah namun dipelajari, hal ini lah yang menyebabkan pentingnya untuk melihat teman sepermainan remaja tersebut.
Persoalan lain yang juga harus dihadapi, sebagaimana yang dicetuskan oleh Merton, mengenai kegagalan sebagian orang Amerika untuk mencapai ‘the American Dream’, begitu pula yang terjadi di Indonesia. Boleh jadi mereka yang melakukan tindakan kriminalitas di kalangan remaja adalah mereka yang gagal mencapai ‘the Indonesian dream’ sebagaimana yang selalu dimunculkan dalam media massa. Remaja dalam media selalu dicitrakan sebagai sosok yang ‘kelewat kaya’ sehingga gambaran tersebt adalah hiperrealitas, realitas yang sebenarnya tidak ada dalam masyarakat Indonesia, dan rasanya tidak berlebihan jika para remaja ‘mengejar’ hal tersebut, hanya saja sebagian dari mereka justru menjadi kriminal sejati untuk mencapai ‘the Indonesian Dream’ tersebut.

Kepustakaan
Kompas. 2002. “Tahun 2003 Jakarta Makin Rawan” dalam http://64.203.71.11/metro/news/0212/31/223054.htm
________. 2007. “Guru dan Orang Tua Tak Berdaya” dalam http://64.203.71.11/ver1/metropolitan/0711/13/050603.htm
Masngudin HMS. t.t. “Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga, Kasus di Pondok Pinang Pinggiran Kota Metropolitan Jakarta” dalam http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004/Masngudin.htm
Merton, Robert K. 1968. Social Theory and Social Structure. New York: The Free Press
Republika. 2005. “Kenakalan Remaja Sudah Mengkhawatirkan” dalam harian Republika 23 Maret.
__________. 2007. “Jakarta Kota Kriminal” dalam harian Republika 18 April.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Edisi keenam. Jakarta: Kencana.
Wikipedia. t.t.a. “Juvenile Deliquency” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Juvenile_deliquency.htm
__________. t.t.b. “Deviant Behavior” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Deviant_behavior.htm